Aqiqah Bdg – Acara syukuran 4 bulanan kehamilan merupakan tradisi di Indonesia yang sudah ada sejak zaman dulu. Umat muslim umumnya melaksanakan acara syukuran ini untuk memanjatkan doa dan harapan supaya kehamilan dapat berjalan lancar hingga bayi lahir.
Lantas, apa sebenarnya makna syukuran 4 bulan kehamilan ini menurut Islam?
Makna syukuran 4 bulan kehamilan menurut Islam
Dalam Islam, periode pemberian ruh terjadi setelah 120 hari sejak permulaan kehamilan atau mulai usia kehamilan 4 bulan. Dalam Buku Panduan Kehamilan: Perspektif Islam dan Kedokteran Modern oleh Adil bin Yusuf al-‘Izazy’, dijelaskan bahwa periode ini merupakan fase yang dimaksud di dalam surat Al-Mu’minun ayat 14, yang berbunyi:
“Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci Allah, Pencipta yang paling baik.”
Dikutip dari laman HaiBunda, hal yang sama juga dijelaskan oleh DR. Dr. H. Imam Rasjidi, SpOG (K) Onk dalam buku Panduan Kehamilan Muslimah. Menurutnya, Allah SWT meniupkan ruh-Nya kepada janin di bulan ke-4, dan hadis shahih juga menjelaskan hal serupa.
Jumhur ulama menyatakan bahwa ruh mulai ditiupkan pada janin di usia 120 hari atau 4 bulan, sedangkan dalam Hadis Muttafaqun Alain, Rasulullah SAW berkata bahwa, “Sesungguhnya tiap-tiap kamu dibentuk dalam perut ibunya 40 hari berbentuk nutfah (tetesan air), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama 40 hari, kemudian menjadi mudhghoh (segumpal daging) selama 40 hari, kemudian dikirimkan kepada malaikat meniupkan ruh.”
Imam Rasjidi juga mengatakan bahwa acara 4 bulanan ini dianjurkan untuk diisi dengan membaca surat-surat pilihan. Hal ini bertujuan agar bayi yang dilahirkan nantinya tak hanya sehat tapi juga mempunyai kepribadian yang baik.
Hukum Mengadakan Syukuran 4 Bulanan
Dalam Islam, sebetulnya tidak ada dalil atau anjuran yang secara spesifik menerangkan boleh atau tidaknya untuk mengadakan syukuran 4 bulan kehamilan, Bunda. Meskipun demikian, dilansir dari situs HaiBunda, para ulama terdahulu mengatakan bahwa acara syukuran hukumnya boleh-boleh saja dilaksanakan asalkan tujuannya baik dan tidak mengarah pada bentuk kegiatan syirik.
Pernyataan tersebut merujuk pada surat Al-A’raf ayat 189:
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلًا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ
Artinya: “Dia lah zat yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu dan darinya Dia ciptakan istrinya agar ia merasa senang kepadanya. Maka ketika ia telah mencampurinya, sang istri mengandung dengan kandungan yang ringan dan teruslah ia dengan kandungan ringan itu. Lalu, ketika ia merasa berat kandungannya keduanya berdoa kepada Allah Tuhannya, “Apabila Engkau beri kami anak yang saleh maka pastilah kami termasuk orang-orang yang bersyukur.”
Oleh Imam Al-Baghawi dalam kitabnya, potongan ayat di atas menafsirkan bagaimana kehidupan Nabi Adam dan Hawa. Ayat tersebut menceritakan beratnya seorang perempuan ketika masa-masa awal kehamilan, yang berlanjut hingga perut membesar dan memasuki masa persalinan.
Oleh sebab itu, Nabi Adam dan Hawa selalu berdoa memohon kepada Allah SWT supaya diberikan keselamatan dan keberkahan pada anaknya kelak. Maka dari itu, para ulama percaya bahwa syukuran kehamilan sah untuk dilaksanakan asal diisi dengan memanjatkan doa, serta mengucap rasa syukur kepada Allah SWT atas kehamilan.
Sumber gambar: Grid
Penulis: Elis Parwati